Pura Luhur Uluwatu

|


Pura Luhur Uluwatu berada di posisi nriti (barat daya), sebagai stana Hyang Widhi dalam perwujudan kekuatan sebagai Siwa-Rudra. Warna-Nya jingga, sehingga perwujudan-Nya sebagai bhuta dinamakan Bhuta Jingga. Dengan aksara suci MANG, bersenjata utama moksala, berwahanakan kerbau. Dalam diri manusia dibayangkan berstana pada usus. Dalam banten oleh para tetua Bali suci di masa lampau dirupakan sebagai dengen-dengen, sesayut sida lungguh, dengan tirta amerta kala. Hari suci-Nya adalah Selasa (Anggara).
Pemujaan Siwa ini sudah dibuktikan lewat berbagai penelitian ilmiah merupakan peradaban pra-Weda. Antara lain terbukti dengan penemuan arkeologis berupa trimukha yogiswara pasupati urdhalingga Siwa dalam peradaban Harappa. Ajaran ini juga termuat pada banyak kitab suci Hindu, hingga berbiak menjadi peradaban Weda.
Tradisi keagamaan di Bali tercatat begitu kukuh memang memuja Hyang Widhi sebagai Siwa-Rudra atau Rodasi, sebagaimana dipahami dan diformulasikan lewat momentum Purnama-Tilem. Dalam kaitan tersebut Rudra dihubungkan dengan Surya yang bersinar terang cemerlang kemerah-merahan, sebagai pelebur segala kepapaan. Kemahadahsyatan Siwa Rudra itu pula dipuja dalam upacara bhuta yajnya agung di Bali hingga Ekadasa Rudra (sebelas kemahakuasaan Siwa-Rudra), di-somya-kan sehingga menjadi Siwa Mahadewa.
Tentu saja tradisi lisan masyarakat awam tidak mengenal nama dewata dengan sebutan sebagaimana disuratkan dalam teks-teks Hindu kemudian. Ada pula sikap segan, atau malah pantang, menyebut nama dewata yang disucikan. Itu sebab, sampai kini, papar Jero Mangku Gede Uluwatu, "Kami biasa menyebut Ida Batara yang malinggih (berstana) di Meru Tumpang Tiga dengan nama Ratu Lingsir." Toh, di sini, di kaki Pulau Bali ini, orang-orang bersimpuh, berbakti, memuja Tuhan sebagai Siwa-Rudra, pelebur segenap kepapaan hidup. I Wayan Sucipta, KS
Pura Luhur Uluwatu di kawasan kaki Pulau Bali ini menyajikan "sesuatu" yang lain, memang. Bila lazimnya Anda memuja ke arah timur atau utara, di sini pemujaan justru mengarah ke barat daya (nriti). Jumlah palinggih (bangunan suci) pun tak sebanyak di pura kahyangan jagat lain. Di mandala utama (jeroan) hanya ada Meru Tumpang Tiga menghadap ke timur laut, di depannya berdiri dua pengapit. Di depan lagi ada prasada serta bangunan piyasan. Mandala ini dibatasi kori gelung agung dengan arsitektur kuno, sebagai batas demarkasi dengan kawasan di luarnya (jaba tengah).
Dikelilingi Pura Pasanakan
Pada sisi jaba tengah kini berdiri bangunan bale gong dan halaman luas tempat umat menghaturkan bakti ke hadapan Ida Batara Lingsir Siwa-Rudra di Pura Luhur. Di luar pagar pembatas sebelah kiri ada Pura Tirta. Sedangkan di jaba sisi, pada sebelah kiri pintu masuk terdapat Pura Jurit. Tempat ini oleh warga Pecatu dan sekitarnya diyakini sebagai lokasi Danghyang Nirartha moksa. Di sinilah pendeta asal Jawa Timur ini distanakan.
Karena umat yang tangkil (datang) saban piodalan kian berdesak-desakan, sejak beberapa tahun lalu di luar jalan masuk utama, di sisi kanan tangga menuju Pura Luhur, dibangun pura cukup besar. Pura ini dijadikan tempat panyawangan (semacam perwakilan, cabang) Ida Batara yang berstana di Pura Jurit. "Halaman Pura Jurit hanya mampu menampung 75 orang, maka kami berinisiatif membuat panyawangan di bawah," urai Ngurah Jaka, dari Puri Jero Kuta.
Lazimnya pura kahyangan jagat yang tersebar di Bali, Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura prasanak atau pasanakan. Pura pasanakan ini biasanya tersebar mengelilingi pura utama yang menjadi pusat, di tengah-tengah, sehingga komposisi keseluruhan ini mengingatkan pada pelapisan bunga teratai atau lotus, dengan putik sari di tengah-tengah.
Di wilayah Desa Pakraman Pecatu yang menjadi lokasi Pura Luhur Uluwatu sebagai pusat, tersebar pura pasanakan, antara lain Pura Dalem Pangeleburan atau Pura Labuan Sait, terletak sekitar 3 km barat daya Pecatu. Pura ini difungsikan sebagai tempat pasucian atau lokasi melasti Ida Batara Pura Uluwatu. Ada pula Pura Goa Batu Matandal, di sebelah selatan Pura Luhur Uluwatu, tepat di bawah pura utama yang menjadi pusat. Di sini tak ada palinggih, namun saat piodalan di Pura Uluwatu biasanya dihaturkan banten panyawangan ke Pura Goa Batu Matandal.
Pura pasanakan lain yang tak ada palinggih adalah Pura Karang Boma. Pura ini oleh warga Pecatu diyakini sebagai stana Ida Batara yang memelihara, melindungi, mengasuh kawanan kera di kawasan Uluwatu.
Ada lagi Pura Kulat, stana Ida Ratu Bagus Mataram, putra I Ratu Panembahan, yang berstana di Uluwatu. Palinggih yang ada berupa meru tumpang tiga dengan kelengkapan tajuk, talesu palungguhan, dan mundak sari. Di sekitarnya ada palemahan (lahan) karang kekeran 7.500 m2. Sementara Pura Selonding yang berlokasi di segara kelod (pantai selatan) Pecatu, berkaitan dengan perjalanan Danghyang Nirartha menuju ke Uluwatu. Di lokasi inilah sang pendeta disebut-sebut sempat singgah sebelum sampai ke Pura Luhur. Palinggih di Pura Selonding berupa gedong dan padmasana.
Pura Parerepan yang terletak di Banjar Tengah, Pecatu, merupakan tempat menyimpan arca suci Ida Batara Lingga. Ida Batara yang berstana di Pura Dalem Parerepan dinamakan Ida Ratu Agung pada meru tingkat tiga, Dalem Ratu Mekah berupa bangunan suci gedong, serta Dalem Dasar pada gedong tingkat dua.

0 Orang Mengomentari "Pura Luhur Uluwatu"

Ajukan Komentar Anda