Galungan dan Maknanya
Hari Raya Galungan diketahui sudah ada sejak abad XI, didasarkan
pada lontar berbahasa Jawa Kuna, Kidung Panji Amalat Rasmi. Namun dalam
lontar tersebut tidak ditemukan apakah nama yang digunakan adalah Galungan atau
nama lain.
Nama galungan lebih jelas diungkapkan dalam lontar Purana Bali Dwipa,
dengan menyebutkan :
Punang aci
Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu
Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau
Bali bagaikan Indra Loka.
Dengan demikian,
Hari Raya Galungan berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa pertama kali dirayakan pada
hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.
Perayaan
Galungan sempat dihentikan pada tahun 1103, ketika
Raja Sri Ekajaya berkuasa sampai kepada kekuasaan Raja Sri Dhanadi. Selama
Galungan tidak dirayakan, diceritakan dalam Lontar Jayakasunu, musibah datang
tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan sangat pendek. Setelah Sri
Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah
Galungan dirayakan kembali. Sehingga pernah terjadi, perayaan galungan
terhenti selama 23 tahun.
Makna Galungan dan Upacara Galungan
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang
artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang
juga berarti menang. Kesamaan makna tersebut dibuktikan dengan, penamaan wuku
yang kesebelas di Jawa disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang
kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Menurut lontar Sunarigama makna Galungan dijelaskan
sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang
janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon
Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan
pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Sedangkan, berdasarkan himpunan keputusan kesatuan tafsir Parisadha Hindu
Dharma, Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton
Gumi. Oton gumi atau ulang tahun bumi, bukan dimaknai bahwa Gumi/Jagad ini
lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Namun lebih kepada
penegasan bahwa hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali
menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang
Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia,
bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan
segala-galanya di dunia ini. Perayaan galungan menjadi suatu pertanda jiwa yang
sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan jiwa agar
mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya jiwa dan pikiran yang
terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat
Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.